Cinta itu buta. Ini kalimat yang sering kita dengar dari seseorang yang sedang jatuh cinta. Cinta bagi seseorang yang sedang kasmaran adalah seperti orang yang memiliki mata tetapi tidak bisa melihat, karena yang terlihat di matanya hanyalah orang yang disayangi dan dicintai, dan akan melakukan apa saja demi mendapatkan cinta walaupun harus berkorban harta maupun nyawa. Hal ini memang agak terdengar berlebihan bagi sebagian orang yang menikmati cinta dengan proporsional tanpa harus melebih-lebihkan cinta itu. Cinta dengan sewajarnya, tanpa ada hal-hal yang dilebihkan meskipun orang yang kita cintai menginginkan lebih dari apa yang kita bisa atau dari apa yang kita punya. Tetapi cinta yang murni tidak seperti cinta yang buta itu. Justru cinta yang murni adalah cinta yang bisa melihat, melihat mana hal yang baik dan harus dipertahankan dan mana hal yang buruk yang harus diperbaiki.
Cinta itu melihat. Ini adalah kalimat bagi seseorang yang memaknai cinta sebagai bentuk islah diri. Dia mencintai seseorang bukan karena tergila-gila dengan parasnya yang cantik/tampan atau bukan dari hartanya yang berlimpah tetapi lebih kepada sifatnya. Mungkin saya akan mengulanginya dengan mencetaknya miring, mencintai seseorang bukan karena tergila-gila dengan parasnya yang cantik/tampan atau bukan dari hartanya yang berlimpah tetapi lebih kepada sifatnya. Allah SWT pun tidak melihat bentuk rupa kita mau tampan seperti Tom Cruise atau cantik seperti Kajol Devgan, tetapi yang Allah SWT lihat adalah hati kita. Rasul juga berpesan kepada kita umatnya untuk lebih memilih menikahi wanita yang memiliki agama (taat agama), daripada yang cantik, kaya, keturunannya baik tetapi tidak punya agama (tidak taat beragama). Jadi pepatah yang mengatakan, cinta itu buta, berarti secara tidak langsung telah menyalahi kuasa Allah dan Rasul.
Allah memiliki sifat Rahman (kasih) dan Rahim (sayang). Allah maha melihat terhadap hamba-hamba Nya yang mendapatkan rahman dan hamba-hamba Nya yang mendapatkan rahim. Allah memberikan sifat Rahman Nya kepada semua makhluk yang ada di muka bumi ini tanpa terkecuali, dan hanya manusia-manusia pilihan Allah sajalah yang mendapatkan Rahim Allah SWT. Rasul pun demikian. Rasul melihat siapa diantara pengikutnya yang benar-benar taat kepada Allah dan mana pengikutnya yang dzalim kepada Allah. Man ahya sunnati faqod ahabbani, man ahabbani kana ma’i fil jannah, kurang lebih seperti itu yang pernah Rasul sabdakan kepada sahabatnya,
“Barang siapa yang menghidupkan sunahku maka dia cinta kepadaku, dan barang siapa cinta kepadaku maka akan bersamaku di surga”
Jadi Rasul melihat dan memilih siapa diantara umatnya yang masuk surga bersama Beliau, jadi Rasul tidak buta terhadap orang yang dicintainya.
Sekarang cakupan bahasannya kita persempit menjadi sebuah keluarga. Di dalam keluarga ada Ayah, Ibu dan anak. Kasih sayang atau cinta ibu terhadap anak-anaknya adalah sama, tidak dibeda-bedakan. Tetapi apakah lantas ibu itu buta dalam memberikan cinta kepada anaknya. Apakah ada seorang ibu yang tujuh hari tujuh malam tidak mau makan karena cemburu anaknya ingin menikah dengan teman SMA nya dulu? Begitu juga cinta seorang suami kepada istrinya. Apakah suami cemburu lantas marah kepada istrinya hanya karena dia melihat istrinya terlalu sayang kepada anak mereka? Inilah cinta yang sebenarnya, cinta yang dikemas dalam bingkai rumah tangga. Mereka saling sayang menyayangi satu sama lain tetapi masih memberikan hak untuk mencintai yang lain dalam koridor keluarga.
Memang seorang kepala rumah tangga mewujudkan kasih sayang nya melalui nafkah (harta) kepada istri dan anak-anaknya untuk keberlangsungan hidup. Tetapi pemberian nafkah bukanlah semata-mata bentuk cinta tetapi bentuk tanggung jawab seorang suami terhadap keluarga yang dipimpinnya. Karena kalau bentuk cinta hanya berupa harta maka cinta bisa dibeli. Tetapi cinta di dalam keluarga bukanlah cinta yang bisa dibeli. Ayah mencari nafkah adalah bentuk tanggung jawab, dan cinta sesungguhnya seorang ayah adalah memberikan perhatian kepada keluarga untuk bersama-sama mencapai ridho/cinta Ilahi. Jadi apapun yang dilakukan oleh suami untuk keluarga tujuannya adalah mendapatkan cinta Ilahi, karena cinta kita terhadap manusia hanyalah sementara, selama masih hidup manusianya maka bisa mencurahkan rasa cinta tetapi kalau salah-satu sudah tiada bagaimana mau mencurahkan rasa cinta? tetapi jika Allah cinta kepada kita maka cinta untuk selamanya. Maka raihlah cinta Allah dengan cara kita mencintai sesama karena Allah.
Wallahu’alam bi showab
Oleh: Abu Ayman