Suara co.Pilot pesawat Garuda Indonesia membangunkan Nina dari tidurnya, walau cuma tidur sebentar sudah mampu mengusir ngantuknya, apalagi ketika Nina tahu sebentar lagi akan mendarat, rasanya Nina sudah tidak sabar untuk segera turun dan bertemu dengan orang-orang yang sangat dirindukannya. Nina sengaja tidak memberi tahu kepulangannya kepada keluarganya, karena dia ingin memberi kejutan terhadap keluarganya, terlebih lagi kepada calon suaminya, lelaki yang dikenlnya lewat chating dan telah melamarnya setahun yang lalu. Walau Nina belum pernah sekalipun melihat wajah calon suaminya itu, namun cintanya untuk sang pujaan hati begitu tulus. Maklum setiap kali mereka bertemu lewat chating, calon suaminya selalu tidak ada webcam, jadi selama setahun menjalin hubungan otomatis Nina hanya mengenal suaranya saja. Pernah Nina meminta foto pada calon suaminya itu namun calon suaminya menolak dengan alasan dia tidak suka difoto jadi tidak memiliki foto.
"Para penumpang yang terhormat, kita telah mendarat dengan selamat dan terima kasih telah memilih Garuda Indonesia untuk perjalalan anda, semoga hari anda menyenangkan"
Suara co.Pilot kembali menggema, satu persatu para penumpang keluar dari kabin pesawat. Nina segera menuju keloket pemeriksaan paspor, setelah selesai ia langsung menuju bagasi untuk mengambil koper. Kali ini Nina sengaja tidak keluar melalui terminal 2, selain tidak ada yang menjemput, Nina penasaran ingin tahu kondisi terminal 3 yang banyak diceritakan teman-temannya. Makanya ketika petugas bandara menggiringnya keterminal 3, Nina hanya menurut, begitu pun ketika oknum-oknum petugas bandara mulai beraksi Nina pun hanya mengikuti aturan main, ia tidak mau terlalu lama berurusan dengan mereka, yang ada dalam pikirannya dia ingin cepat sampai kerumah walau sebenarnya ia ingin berontak.
Bus travel yang membawa Nina dan rombongan mulai bergerak meninggalkan bandara, dari bandara bus meluncur kearah tanggerang menuju tol cikampek, ketika mendekati kawasan tol cikampek tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, dan begitu lewat tikungan cikampek dari arah berlawanan tiba-tiba muncul mobil truk dengan kecepatan tinggi. Karena situasi hujan deras dan jalanan yang licin membuat supir bus travel yang membawa Nina dan rombongan kehilangan kendali sehingga tabrakan antar bus dan truk pun tidak bisa dihindari, kedua kendaraan yang sama-sama besar pun terpental dan terbalik, suara dentuman keras mengagetkan semua orang yang berada dikawasan cikampek.
Sepuluh jam pasca kecelakaan, Nina siuman dari pingsannya, kalimat hamdalah menggema memenuhi gendang telinga Nina, dan ia sangat hafal dengan suara-suara yang sedang mengucapkan kalimat hamdalah itu
"Alhamdulilah ya Allah Nina sudah sadar pak, Na ini ibu dan bapak juga calon suamimu Rijal ada disini, kamu bisa dengar Na?" Bu Ercih cemas, dari suaranya terlihat sekali ia sangat mengkhawatirkan keadaan anaknya. Nina menangis, ia sangat menyesal telah membuat ibunya sedih dan tangisnya kian menjadi saat ia merasakan pandangannya begitu gelap.
"Ibu dimana? Kenapa gelap sekali, apa sedang mati lampu?" Nina panik, tangannya berusaha menggapai sesuatu, dengan sigap bu Ercih meraih tangan anaknya
"Ibu disini Na, disebelah kanan mu, kamu harus kuat menerima kenyataan ini ya Na" Dengan sekuat tenaga bu Ercih berusaha untuk tegar menyampaikan sesuatu yang ia yakin takkan mampu diterima anaknya bahwa Nina harus kehilangan penglihatannya untuk selamanya kecuali ada pendonor mata. Hal itu sudah Dokter sampaikan kepada orang tua Nina, bahwa kornea mata Nina mengalami kerusakan akibat serpihan kaca, dan hal itu pun sudah diketahui oleh Rijal calon suaminya.
Jerit tangis Nina membahana memenuhi ruangan tempatnya dirawat, menarik perhatian pengunjung rumah sakit. Nina berusaha melepas perban yang menempel dimatanya, namun bu Ercih dan pak Wiryo segera mencegahnya
"Sabar Na, sabar" Bu Ercih berusaha menenangkan anaknya
"Istighfar ukhti, istighfar" Rijal berseru tak mau kalah, Nina terus menangis putus asa
"Biarkan Nina mati bu, untuk apa Nina hidup, Nina sudah cacat, tidak akan ada yang mau sama orang cacat bu!" Ratapnya pilu, bu Ercih hanya bisa menangis
"Istighfar ukhti, jangan melawan takdir, ambil hikmahnya yakinlah Allah tidak akan menguji umat-Nya diluar batas kemampuan" Rijal terus berusaha menasehati Nina, berharap kekasihnya ikhlas dan sabar menghadapi kenyataan yang baru saja menimpanya
"Nina sudah cacat akhi, Nina tidak pantas lagi menjadi istri akhi" Ucapnya putus asa. Rijal terkejut mendengar kalimat yang dilontarkan calon istrinya itu, namun dia bisa menguasai dirinya, dengan tenang dan mantap dia pun berucap
"Ukhti...Seperti yang pernah saya ucapkan didepan bapak dan ibu dulu juga kepada ukhti, bahwa apapun yang terjadi dan bagaimana pun kondisi ukhti, saya siap menerima ukhti apa adanya"
"Akhi tidak malu mempunyai istri buta?" Nina masih ragu dengan ucapan Rijal
"Demi Allah tidak ada sedikit pun perasaan itu ukhti, niat saya menikahi ukhti karena Allah, sudahlah ukhti jangan bahas masalah itu, sekarang yang penting ukhti sembuh dulu, saya janji tidak akan meninggalkan ukhti, Insya Allah" Janjinya, senadainya Nina telah halal baginya betapa Rijal ingin merengkuh pujaan hatinya itu kedalam pelukannya untuk meyakinkan betapa cintanya tidak berkurang sedikitpun dengan kondisinya yang sekarang. Bu Ercih dan pak Wiryo saling pandang penuh haru, dihati mereka begitu bahagia dan bangga juga menaruh harapan yang besar terhadap calon menantunya itu.
Nina sedikit mulai bisa tenang, walau sisa-sisa tangisnya sesekali terdengar, rasa putus asa yang tadi sempat menyerang jiwanya berangsur-angsur menghilang dan berganti dengan kebahagiaan dan segudang harapan.
Tiga bulan pasca kecelakaan, Nina telah benar-benar sembuh total walau ia harus mengalami kebuataan. Dan seperti yang pernah diucapkan dihadapan kedua orang tua Nina, Rijal memenuhi janjinya untuk menikahi Nina. Pada awalnya pesta pernikahan akan dilaksanakan dengan meriah, karena bagi orang tua kedua belah pihak, pesta itu adalah untuk yang pertama, terlebih lagi bagi orang tua Rijal yang termasuk orang kaya di Jakarta, Namun Rijal dan Nina menolak rencana kedua orang tua mereka, sehingga akhirnya pesta pernikahan dilangsungkan dengan sederhana namun kidhmat.
Tamu undangan satu persatu mulai meninggalkan arena pesta dan pulang kerumah masing-masing. Nina masuk kamar didampingi Rijal, ketika sampai didalam kamar, Nina duduk ditepi tempat tidur dengan menunduk, hatinya berdebar kencang, sementara Rijal dengan mata berkaca-kaca tengah memandang wajah Nina. Rijal lalu menghampiri Nina, kemudian tangan kanannya memegang ubun-ubun istrinya dan membaca doa barakah diamini oleh Nina, setelah itu Rijal membimbing Nina untuk mengambil air wudhu lalu keduanya shalat, selesai sholat dan berdoa, untuk yang pertama kalinya Rijal mencium kening istrinya.
"Suamiku bolehkah aku menyentuh wajahmu, agar aku bisa melukiskan seraut wajahmu dalam imajinasiku" Pinta Nina tiba-tiba. Rijal hanya tersenyum mendengar permintaan istrinya itu, tanpa menjawab pertanyaan Nina, diraihnya tangan Nina dengan lembut lalu dibimbingnya kearah wajahnya. Dengan gerakan pelan tangan Nina menyusuri wajah Rijal, ia mencoba melukis wajah suaminya kedalam kanvas imajinasinya, namun selalu gagal sehingga Nina merasa sedih dibuatnya. Tangisnya pecah dan itu membuat Rijal panik.
"Kenapa menangis sayang, apakah aku telah menyakitimu?" Tanyanya hati-hati, Nina menggeleng, dan itu membuat Rijal semakin kebingungan
"Lalu kenapa menangis, saya minta maaf jika ada sikap saya yang telah menyakitimu istriku" Lanjutnya masih dengan suaranya yang lembut
"Sa..saya gagal" Ucap Nina terbata "Gagal melukis wajahmu dalam imajinasiku, saya tak bisa mengenali wajahmu atau pun memiripkan wajahmu dengan orang-orang yang pernah saya lihat" Tangis Nina semakin menjadi. Tiba-tiba Rijal merasa bersalah, ia sangat menyesal tidak mengabulkan permintaan Nina dulu ketika Nina meminta fotonya. Ditariknya nafas dalam-dalam seolah ingin melepaskan sebuah sebak yang tiba-tiba menyesaki dadanya, tanpa Rijal sadari airmatanya telah menyusuri pipinya. Beruntung Nina tidak bisa melihatnya sehingga hanya dia sendiri yang tahu akan tangisannya. Direngkuhnya Nina kedalam pelukanya
"Sudahlah sayang jangan menangis, tak perlu bersedih, aku tidak menuntutmu untuk menghafal wajahku, kesetiaanmu lebih kuharapkan, aku akan menjagamu semampuku, jangan menangis lagi kumohon" Katanya lembut, Rijal tidak ingin menyakiti perasaan istrinya lagi. Nina mengangguk lalu ia berusaha tersenyum dan Rijal lega melihatnya
"Maaf kan saya mas, tak seharusnya malam pertama ini dilalui dengan keluhan, saya minta maaf " Ucapnya lirih penuh penyesalan
" Tidak ada yang salah sayang, sudah malam sebaiknya kita istirahat, mas lelah sekali seharian terima tamu" Ajak Rijal, dikecupnya kembali kening istrinya. Nina menuruti ajakan suaminya lalu keduanya berbaring. Rijal berusaha memejamkan matanya, ia benar-benar kelelahan, namun tidak dengan Nina, ia tidak bisa tidur .
"Mas.." Sahut Nina pelan
"Iya?" Jawab Rijal siangkat tanpa membuka matanya
"Saya berharap suatu hari nanti bisa melihat wajahmu"
Rijal membuka matanya, dipandangi wajah istrinya yang tirus ada rasa yang menghentak-hentak dalam jiwanya
"Insya Allah istriku dan yakinlah Allah pasti akan memberikan jalan, andai kata didunia kau tak bisa melihat wajahku, insya Allah diakherat kelak Allah akan mengabulkan keinginanmu, asalkan kita tetap lurus dijalan-Nya" Rijal menyemangati istrinya, untuk yang ketiga kalinya kembali dikecup kening istrinya
"Amin..." Timpal Nina lirih, ia merasakan ketenangan mendengar kalimat dari suaminya itu, lalu keduanya tidur dengan pulas.
Dijakarta Nina tinggal diperumahan Garden City jakarta timur, yang jika Nina tahu perumahan itu terlalu mewah bagi seorang Nina. Diperumahan itu Rijal sudah menyiapkan seorang pembantu yang siap melayani dan membantu kebutuhan Nina.
Minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun, kehidupan rumah tangga Nina dan Rijal penuh dengan kebahagiaan, apalagi setelah kehadiran putra pertama mereka, kebahagiaan itu terasa semakin lengkap bagi keduanya.
"Mah ada berita baik dan berita buruk, mau yang mana dulu?" Tanya Rijal suatu malam saat anak mereka yang masih berumur lima bulan sudah tidur. Rijal kini memanggil istrinya dengan panggilan mamah
"Yang baik dulu" Jawab Nina singkat. Rijal memperbaiki posisi duduknya lebih mendekat kearah istrinya
"Tadi siang Ferry temen papa yang jadi Dokter specialis mata mengabarkan, bahwa sudah ada donor mata untuk mamah, operasi seminggu lagi akan dilaksanakan" Rijal berhenti sejenak. Nina tersenyum bahagia
"Dan berita buruknya, kemungkinan saat mamah operasi papa gak bisa temenin karena harus keBandung ngurus tender, tapi papa janji begitu operasi selesai dan mamah membuka mata, maka papa sudah ada dihadapan mamah" Lanjut Rijal berjanji, senyum Nina kian mengembang. Nina sudah tidak sabar ingin segera dioperasi agar ia bisa melihat seraut wajah suami dan anaknya.
Waktu yang ditentukan pun tiba. Ditemani kedua orang tua serta mertuanya, Nina menjalani operasi mata diRumah sakit Harapan Bunda Jakarta Timur. Sementara Rijal tidak bisa hadir karena ada urusan bisnis diBandung.
Diluar ruangan operasi bu Ercih dan pak Wiryo serta besannya menanti dengan harap-harap cemas, saat dalam keheningan yang penuh dengan kecemasan, tiba-tiba muncul Dina adik kandung Rijal dengan berurai air mata, mengabarkan kalau Rijal mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Harapan Bunda, dan sekarang tengah dirawat diRumah Sakit Medistra Jakarta Timur. Kontan berita itu membuat tangis bu Brata dan bu Ercih pecah, suasana diluar ruang operasi gaduh. Konsentrasi meraka terpecah, akhirnya diputuskan pak Brata dan istrinya yang pergi keRumah Sakit Medistra, sementara bu Ercih dan pak Wiryo tetap menunggu sampai operasi selesai dilakukan.
Empat jam lamanya Nina berada diruang operasi, dan operasi mata telah selesai dilakukan, tim Dokter puas dengan kerja keras mereka. Bu Ercih dan pak Wiryo pun tak kalah bahagia mendengarnya, namun kebahagiaan mereka menjadi berkurang karena pikiran mereka masih terbagi dengan memikirkan kondisi menantunya.
Dua jam kemudian, perban yang menutupi mata Nina dibuka oleh Dokter Ferry, bu Ercih dan pak Wiryo menanti dengan jantung berdebar. Nina membuka matanya perlahan, kemudian ia mengerjapkanya berkali-kali lalu Nina menatap kedua orang tuanya satu persatu, senyum Nina merakah.
"Alhamdulilah saya bisa melihat lagi bu!" Serunya bahagia. Bu Ercih dan pak Wiryo mengucapkan hamdalah bersamaan lalu keduanya memeluk Nina dengan penuh sayang dan bahagia.
"Bu, mas Rijal belum datang juga, umi sama abi kemana?" Tanya Nina, ia teringat dengan janji suaminya yang akan datang setelah operasi selesai, ia juga ingat waktu sebelum masuk ruangan operasi mertuanya ada disitu. Wajah bu Ercih seketika berubah jadi sendu, dan Nina bisa membaca dengan perubahan raut muka ibunya itu
" Apa yang telah terjadi bu, katakan bu, katakan!" seru Nina panik
"Sabar Na, sabar" Bu Ercih berusaha menenangkan putrinya
"Nina tidak akan tenang jika ibu tidak memberi tahu, katakan ada apa bu saya mohon" Ratap Nina memelas
"Suamimu kecelakaan, sekarang ada dirumah sakit Medistra" Akhirnya pak Wiryo angkat suara, walau sebenarnya pak Wiryo juga tidak ingin merusak kebahagiaan anaknya yang baru saja mendapatkan penglihatannya kembali
" Kita kesana sekarang!" Ajak Nina seraya bangkit dari pembaringannya
"Na kamu habis operasi nanti saja menunggu kondisi kamu pulih dulu"
"Saya baik-baik saja bu, mas Rijal butuh saya!"
Nina tidak memperdulikan larangan ibunya, ia terus saja melangkah keluar dari Rumah Sakit Harapan Bunda, diikuti pak Wiryo dan istrinya dari belakang, lalu ketiganya menyetop taksi dan meluncur keRumah Sakit Medistra.
"Maaf suster pasien yang bernama Muhammad Rijal Brata dirawat diruangan mana?" Tanya Nina kepada suster penjaga, ketika sudah berada diRumah Sakit Medistra. Suster penjaga tampak heran, kemudian suster itu membuka buku daptar pasien, sementara Nina tampak tidak sabar dan gelisah.
"Kak Nina?" Suara seorang perempuan memanggil namanya, ia menoleh kearah suara yang memanggilnya barusan. Seorang perempuan cantik dengan jilbab warna biru tua langsung menghambur kearahnya dan memeluk sambil menangis. Nina baru menyadari jika perempuan itu adalah adik iparnya
"Ini Dina kan?" Tanya Nina penasaran
"Betul kak, Subhanallah kakak bisa melihat lagi" Ucap Dina disela tangisnya
"Dimana mas Rijal?" Tanya Nina tak sabaran
" Mari ikut saya kak" Ujar Dina lirih.
Ternyata Dina membawa meraka kekamar mayat, disana Nina melihat banyak polisi juga ada seorang ibu yang tengah menangis dipelukan suaminya. Nina sudah bisa menduga jika perempuan setengah baya itu adalah mertuanya, dan benar saja dugaan Nina, begitu ibu itu melihat kedatangan Nina dan rombongan, ibu itu langsung menghambur kepelukan Nina bahkan tangisnya kian keras dan pilu menyayat hati.
Nina sudah menduga jika suaminya telah meninggalkan dia untuk selama-lamanya, rasanya Nina belum siap dengan semua itu, tangisnya pecah. Ingin rasanya Nina tak sadarkan diri agar ia tidak merasakan beban yang begitu berat namun anehnya ia tidak bisa, justru ada hasrat yang tiba-tiba menyerang hatinya untuk melihat wajah suaminya meski untuk yang terakhir kali. Namun keinginannya harus dikuburnya dalam-dalam, saat pihak dokter yang mengotopsi mayat suaminya melarang Nina melihat wajah suaminya dengan alasan wajah mayat rusak parah dan tidak bisa dikenali lagi, jika pun Nina memaksa melihat, dikhawatirkan kondisi kejiwaan Nina akan syok berat.
Akhirnya Nina hanya bisa memeluk mayat yang tertutup kain putih dan menagis sejadi-jadinya menumpahkan semua sebak yang dari tadi menganjal didadanya.
Jiwanya hancur mendengar keterangan dari Dokter dan polisi, semua rencana indah yang telah disusun bersama suaminya telah musnah dalam sekejap.
"Mah...!" Suara seorang lelaki memanggil Nina yang masih memeluk jenazah sambil menagis, dan Nina sangat hafal dengan suara itu. Reflek semua yang hadir diruangan itu menoleh kearah suara yang barusan memanggil Nina.
Ditengah-tengah pintu berdiri seorang lelaki tampan berjanggut tipis serta memakai pakaian setengah santri setengah modis menatap kearah Nina dengan tatapan penuh kerinduan. Nina balas menatap lelaki itu, hatinya tak berani menduga jika lelaki itu adalah suaminya yang selama ini dirindukanya, sehingga bibirnya terasa kelu untuk menyebutkan sebuah nama.
Lelaki yang ternyata Rijal itu mendekat kearah Nina, lalu diraihnya tangan Nina dan dibimbingnya untuk menyentuh wajahnya. Nina memejamkan mata mencoba melukiskan sesuatu dalam imajinasinya
"Aku Rijal suamimu, ayah dari Aria anak kita" Bisik Rijal lembut
Nina membuka matanya, ditatapnya seraut wajah yang selama ini dirindukannya, dalam hati ia mengagumi ketampanan suaminya itu, tidak seperti gambaran dalam imajinasinya selama ini. Akhirnya tangisan bahagia Nina pecah dalam pelukan suami yang dirindukannya, semua yang berada diruangan jenazah kini menangis bahagia
" Terus siapa mayat ini?" Tanya bu Brata disela tangisnya. Rijal melepas pelukan istrinya, seketika wajahnya berubah jadi sendu, dengan suara parau ia berusaha menjelaskan
"Dino mi, dia pinjam mobil saya karena hari ini istrinya melahirkan, dirumah sakit Harapan Bunda, saya sudah mencegahnya untuk pulang bersama saya nanti ba'da sholat dzuhur, tapi Dino tidak mau karena dia ingin menyaksikan bagaimana anaknya lahir" Cerita Rijal lirih
"Innalillahi wa'inna illahi roji'un.." Ucap semua yang hadir diruangan itu serempak.
luarbiasa!apapun yang terjadi kita harus bersyukur kepada Alloh.
ReplyDelete